Nasyiah JATIM soroti Deforestasi Hutan Adat Papua

Nasyiah JATIM soroti Deforestasi Hutan Adat Papua

Surabaya.mediabangsa.net//Tadarus Lingkungan Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur secara daring mengupas isu penebangan hutan adat Papua yang akan digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit (06/06/2024) mendapat apresiasi dari Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah dan Sajogyo Institute.

Mengusung tema Papua Dibabat, Upaya Kelestarian Alam Makin Terhambat menjadi diskusi hangat ditengah puluhan peserta webinar. Dalam Tadarus Lingkungan ini dihadiri oleh Majelis Linkungan Hidup Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Papua, Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Aceh, Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Kalimantan Timur sampai dengan kader Nasyiatul Aisyiyah se Jawa Timur.

Desi Ratna Sari, Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur menyoroti permasalahan lingkungan dalam kacamata dampak krisis iklim yang semakin hari mengancam negara kita, bahkan dunia. “Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur dalam upaya menekan krisis iklim adalah dengan Gerakan Merdeka Sampah¬ melalui aktivitas membawa tumbler, kotak makan sendiri, sampai dengan meminimalkan penggunaan plastik sekali pakai dalam setiap kegiatan Nasyiatul Aisyiyah”ujarnya.

Kalau kita menengok kondisi Papua saat ini sepertinya ini bukan hanya pekerjaan rumah bagi teman-teman Nasyiatul Aisyiyah yang ada di Papua saja, melainkan kita semua di skala nasional. “Papua saat ini kian terancam dan berada pada fase kritis, sangat membutuhkan kerjasama yang baik antar elemen, baik pemerintah maupun masyarakat. Sehingga bisa ditimbang bersama kebijakan yang memperhatikan kelestarian alam, sehingga upaya dalam menekan krisis iklim bisa dimaksimalkan”. Pungkasnya.

Ketua Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Papua, Rohmanatin Fitriani dalam sambutannya memberikan gambaran kondisi Papua yang tidak seperti gambaran para peserta tadarus lingkungan yang menganggap bahwa papua itu indah alamnya, ragam hayatinya, dan beragam kebudayaannya.  Dibalik keindahan tanah Papua, masyarakat disana hidup dalam tekanan khususnya berkaitan dengan tanah yang dengan mudah berpindah tangan, padahal tanah di Papua merupakan elemen penting dalam keberlangsungan hidup masyarakat Papua. “Fungsi tanah dan hutan tidak hanya dimaknai sebagai nilai ekonomi, melainkan tanah dan hutan di Papua adalah sumber penghidupan. Saat tanah dan hutan hilang, maka runtuhlah kehidupan mereka”.

Rinrin Marlia Azhary, Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah memandang isu gender dan agraria sebagai suatu kesatuan sehingga kita sulit membedakan ketimpangan struktur agraria disuatu tempat tanpa melibatkan perempuan secara lebih jauh. “Nasyiatul Aisyiyah saat ini sedang mengembangkan platform Gerakan kampanye Green Nasyiah sebagai upaya bagaimana memasukkan paradigma lingkungan dalam implementasi Green Family melalui gaya hidup yang ramah lingkungan dari lingkup keluarga”.tuturnya. 

Eko Cahyono, Pengiat dan Peneliti Sajogyo Institute sebagai narasumber mengambil materi tentang Deforestasi dan Penghancuran Hidup di Tanah Papua. Sebagai peneliti yang secara langsung melakukan penelitian di tanah Papua tentu pemaparan kondisi Papua bisa dirasakan secara mendalam oleh seluruh peserta tadarus lingkungan.

Data dari Greenpace, 2020 menyebutkan bahwa Tutupan Hutan di Papua mewakili 46,59% dari hutan di Indonesia. Konversi hutan tahun 2018 menerangkan bahwa hutan total di Papua mencapai 88,78 juta hektar dengan pembagian hutan utama seluas 46,62 juta hekar dan hutan sekunder seluas 42,16 juta hektar.

“Luas hutan yang hilang di Provinsi Papua dan Papua Barat antara tahun 2011 hingga 2019 mencapai angka deforestasi hingga 435.233 hektar. Greenpace menilai deforestasi oleh 25 produsen minyak sawit utama dan menemukan bahwa telah menebangi lebih dari 130.000 hektar hutan hujan sejak akhir 2015 sampai 2018. Greenpace menemukan bahwa 40% dari deforestasi (51.600 hektar) terjadi di Papua. Wilayah tersebut merupakan salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia dan baru-baru in tersentuh oleh industry kepala sawit.” Ungkap Eko Cahyono
Koalisi Indoensia Memantau,2021 memaparkan dalam dua dekade terakhir Merauke dan Bovendigoel di bagian selatan Provinsi Papua menjadi yang paling dominan kehilangan hutan alam, masing-masing seluas 123.049 hektar dan 51.600 hektar.

Dampak deforestasi dan penghancuran ruang hidup di papua dikerucutkan oleh Eko Cahyono melalui temuan utama 4 modus “koruptif”. Pertama, praktik state capture corruption (korupsi dengan menyandra negara). Kedua, praktik manipulasi dan penipuan atas nama representasi kesepakatan suara masyarakat adat atau lokal. Ketiga, modus tekanan yang kerap berujung pada tindak kekerasan. Keempat, obral janji palsu sebagai jalan memudahkan pelepasan paksa tanah adat.

“Keempat hal diatas dalam praktiknya berkelindan menciptakan climate bagi ruang “remang-remang” yang menyuburkan (dan sekaligus kerap melanggengkan) praktik koruptif dalam beragam jenis dan ragamnya. Pada giliran berikutnya kondisi koruptif inilah yang menjadi legitimasi bagi proses eksklusi dan marginalisasi masyarakat adat sekitar perekbunan kelapa sawit di Papua-Papua Barat”lanjutnya. 

Hutan yang akan dibabat mempunyai kontribusi pada sistem hidup orang Yaben,Papua. Sistem yang terbangun dari alam adalah sistem pengetahuan dan teknologi, sistem organisasi sosial, kepemimpin, sistem ekonomi dan distribusi barang, sistem religi dan kosmologi, sistem kesenian dan rekreasi, sampai dengan sistem zonasi wilayah.

“dalam konteks isu penebangan hutan adat Papua untuk pembukaan perkebunan kepala sawit perlu dilakukan peninjauan dari berbagai sisi, Nasyiatul Aisiyah sebagai organisasi perempuan muda berkemajuan diharapkan mampu menyuarakan isu lingkungan melalui berbagai plaform atau media sosial sebagai wujud ikhtiar kita dalam upaya melestarikan alam”tutupnya.

Nia Ambarwati
& Tim

Kategori: DLLNews