Freddy Widjaja Datangi Bareskrim Polri
Jakarta.mediabangsa.net// Freddy Widjaja kembali mendatangi Bareskrim didampingi Kamaruddin Simanjuntak selaku pengacaranya, guna mendampingi kliennya yaitu Freddy Widjaja untuk melaporkan saudara tiri dari anak almarhum bos Sinar Mas Group, Eka Tjipta Widjaja.
Kali ini laporannya terkait status kewarganegaraan Indonesia (WNI) yang diduga palsu, dimana Kamaruddin Simanjuntak menjelaskan bahwa terlapor adalah empat saudara tiri atau anak pendiri Sinar Mas Group yakni Indra Widjaja, Muktar Widjaja, Franky Oesman Widjaja dan Oei Tjie Guan alias Teguh Ganda Widjaja.
"Iya, pada hari ini kami mau membuat laporan, ada surat dari Kemenkumham yang menyatakan mereka (empat terlapor) ini bukan warga negara Indonesia, tapi kok bisa memperoleh KTP, KK, maupun paspor dengan nama versi berbeda-berbeda. Kadang namanya A, tiba-tiba jadi B, balik lagi jadi A. Ini kan seperti main-main, sebenarnya siapa sih namanya," ungkap Kamaruddin kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin 21 November 2022.
Sehingga, lanjut Kamaruddin, dia bersama Freddy Widjaja membuat laporan ke Bareskrim Polri untuk mencari tahu apakah betul surat dari Kemenkumham yang menyatakan terlapor merupakan Warga Negara Asing (WNA) adalah benar. Terkait identitas yang berganti-ganti, diduga ada dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
"Apakah betul surat dari Kemenkumham bahwa mereka ini adalah warga negara asing, kemudian namanya kenapa berganti-ganti, dugaan bahwa ada tindak pidana pencucian uang," ujar Kamaruddin.
Semasa hidup, kata Kamaruddin, bahwa mendiang Eka Tjipta merupakan orang yang sangat kaya raya, tapi di sisi lain, ada pihak dari Sinar Mas Group menyatakan bahwa ayah Freddy Widjaja itu merupakan 'orang miskin' sehingga tidak banyak meninggalkan harta.
"Mantan Humas ini sekarang menjadi Duta Besar di Korea Selatan (Gandi Sulistiyanto). Mana mungkin almarhum orang miskin tidak meninggalkan harta, sedangkan kami punya dokumennya almarhum membuat PT dalam satu hari diatasnamakan lima orang, kemudian dalam satu hari itu juga langsung dihibahkan kepada almarhum. Artinya semua kepemilikan dari aset ini adalah atas nama almarhum, kami sudah selidiki itu," bebernya.
Kamaruddin mengaku telah membawa barang bukti berupa KTP, Kartu Keluarga (KK), paspor dengan nama yang memiliki versi berbeda-beda, serta surat dari Kemenkumham yang menyatakan bahwa terlapor berstatus WNA. Surat-surat yang diduga palsu itu dilakukan demi membatalkan Freddy Widjaja sebagai anak dari Eka Tjipta.
Sebelumnya Freddy Widjaja juga telah melaporkan saudara tirinya itu terkait kasus dugaan pemalsuan akta otentik. Kasus ini sebelumnya sudah dilakukan gelar perkara dan dihenti lidik karena dianggap bukan peristiwa pidana. Pihaknya pun tidak terima dan meminta Bareskrim Polri untuk kembali membuka gelar perkara.
"Jadi kami meminta supaya laporan dari klien saya tentang pemalsuan akta otentik, menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik supaya dibuka yaitu terkait adanya penggunaan akta lahir yang diduga palsu. Kenapa palsu, karena mereka sebenarnya punya yang asli tapi kenapa menggunakan yang diduga palsu," ulasnya.
Para terlapor, kata Kamaruddin, terancam Pasal 93 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang memalsukan surat dan atau dokumen kepada Instansi Pelaksana dalam melaporkan Peristiwa Kependudukan yang bisa dipidana 6 tahun penjara junto Pasal 263, 264, dan 266 ayat 1 dan 2 KUHP tentang pemakaian dan pemalsuan Akta Otentik junto pasal 55 KUHP.
Selain itu Kamaruddin, mengatakan bakal meminta Wassidik Bareskrim untuk segera membuka kembali kasus pemalsuan akta lahir para terlapor : Indra Widjaja, Muktar Widjaja, dan Franky Oesman Widjaja yang kasus penyelidikannya dihentikan tanggal 18 Oktober 2022. "Supaya proses penyelidikannya bisa dinaikkan ke tahap penyidikan," ujar Kamaruddin.
Dia menambahkan, bahwa alasan proses penyelidikannya dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana yang dijelaskan Kamaruddin bahwa hal tersebut bisa berakibat negatif bagi seluruh rakyat Indonesia karena berarti pemalsuan dan pemakaian akta otentik palsu boleh dilegalkan apabila dilakukan oleh para konglomerat karena ada DOA alias Dorongan Amplop.
"Pelanggaran hukum dan telah terjadi tindak pidana, tapi karena konglomerat, hukum tidak dijalankan karena ada DOA atau dorongan amplop. Ini berbahaya," tegas Kamaruddin.
Tim