Bayar di Meja Poli: Saat Kesehatan Jadi Tagihan, Mengurangi Beban Out-of-Pocket di Fasilitas Kesehatan
Situasi Layanan Kesehatan Saat Ini
Di Indonesia, pembayaran langsung oleh rumah tangga untuk layanan kesehatan (out-of-pocket/OOP) masih menyumbang porsi yang signifikan dari total belanja kesehatan. Data bank dunia menunjukkan proporsi OOP terhadap pengeluaran kesehatan saat ini masih berada di level puluhan persen.
Pemerintah melaporkan tren penurunan proporsi OOP dari sekitar 32% (2019) menjadi sekitar 28–29% pada 2023, seiring perluasan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Namun dari sisi nominal dan pengalaman pasien di banyak fasilitas, masih ada keluhan tentang biaya tambahan, selisih tarif, dan biaya tak terduga yang membuat keluarga menunda atau mengurangi layanan.
Mengapa OOP Masih Membebani Masyarakat
1. Cakupan Asuransi ≠ Perlindungan Penuh
Meski JKN telah mencakup sebagian besar penduduk, tidak semua layanan, obat, dan prosedur ditanggung penuh atau tersedia merata di seluruh fasilitas. Pasien sering kali tetap mengeluarkan biaya tambahan, termasuk membeli obat di luar rumah sakit.
2. Ketidakmerataan Akses dan Kapasitas Fasilitas
Fasilitas rujukan sering penuh atau tidak lengkap, mendorong pasien mencari layanan swasta atau layanan tambahan yang berbayar.
3. Keterbatasan Tata Kelola dan Transparansi
Praktik selisih biaya dan pungutan tidak resmi masih terjadi akibat kurang sinkronnya aturan teknis, tarif layanan, serta mekanisme klaim antara penyelenggara jaminan dan rumah sakit.
4. Pengelolaan Data yang Belum Optimal
Perbaikan pelaporan belanja kesehatan memang berlangsung, namun data mengenai beban finansial rumah tangga masih belum cukup kuat untuk menjadi dasar kebijakan yang tepat sasaran. Integrasi data ke database global baru mulai ditingkatkan.
Solusi Praktis
1. Penguatan Regulasi Selisih Biaya
Tegakkan aturan tentang selisih biaya dengan lebih jelas dan tegas.
Tetapkan tarif maksimum dan kategori layanan yang boleh dikenai selisih biaya.
Wajibkan setiap fasilitas mempublikasikan standar tarif tersebut agar pasien memahami sebelum menerima layanan.
2. Transparansi Tagihan
Rumah sakit wajib menampilkan daftar tarif layanan, paket tindakan, dan daftar obat yang sering menjadi sumber OOP.
Gunakan tanda terima elektronik serta ringkasan biaya yang mudah dipahami pasien sebelum tindakan dilakukan.
3. Perbaikan Rujukan dan Ketersediaan Obat/Alkes
Perkuat rantai pasokan obat dan alat kesehatan di fasilitas pemerintah.
Optimalkan e-catalog nasional agar harga lebih kompetitif dan pasien tidak harus membeli di luar fasilitas dengan harga tinggi.
4. Penyempurnaan Manfaat JKN
Perluas jaminan untuk layanan yang sering menjadi sumber OOP besar (misalnya obat jangka panjang dan tindakan khusus).
Lakukan evaluasi biaya-manfaat secara berkala untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
5. Kampanye Literasi Keuangan dan Hak Pasien
Edukasi masyarakat tentang hak peserta JKN, cara klaim, serta jalur pengaduan jika dikenai biaya tidak semestinya.
Masyarakat yang memahami haknya cenderung lebih terlindungi dari beban finansial yang berlebihan.
6. Perbaikan Data dan Monitoring OOP
Tingkatkan pelaporan National Health Accounts dan integrasi data rumah sakit.
Prioritaskan dukungan teknis ke daerah, termasuk audit rutin untuk mengidentifikasi titik rawan kebocoran pengeluaran rumah tangga.
Kesimpulan
Turunnya persentase OOP adalah kemajuan penting, namun angka tersebut belum sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan. Banyak keluarga masih menghadapi biaya tambahan yang tidak terduga ketika membutuhkan layanan kesehatan. Tanpa regulasi yang lebih kuat, transparansi tarif, ketersediaan obat yang stabil, dan data yang andal, risiko kesehatan sebagai penyebab kemiskinan baru tetap besar.
Rekomendasi Singkat untuk Pembuat Kebijakan
1. Selesaikan aturan teknis dan mekanisme pengawasan selisih biaya dalam 6–12 bulan, termasuk publikasi format tagihan standar.
2. Prioritaskan penguatan rantai pasokan obat dan alat kesehatan untuk menekan pembelian di luar fasilitas.
3. Percepat integrasi data nasional ke WHO GHED dan manfaatkan hasilnya untuk menargetkan subsidi bagi kelompok berisiko tinggi.
4. Luncurkan program literasi hak pasien dan jalur pengaduan di semua fasilitas kesehatan utama.
Oleh : Sigit Purnama (NPM : 20240000129)
Mahasiswa Universitas Indonesia Maju
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat
