Narkoba Menggerogoti Masa Depan, Alarm Serius bagi Sukabumi dan Indonesia
Oleh: Roswandani — Mahasiswa S2 Universitas Indonesia Maju (UIMA)
Penyalahgunaan narkoba bukan sekadar persoalan kriminalitas. Ia adalah ancaman senyap yang menggerogoti kesehatan masyarakat, merusak struktur sosial, dan membebani ekonomi bangsa. Di Indonesia, dampaknya sudah terasa jelas; namun di daerah seperti Kota / Kabupaten Sukabumi, ancaman ini kini semakin menuntut perhatian serius.
Secara nasional, Badan Narkotika Nasional (BNN) memperkirakan lebih dari 3 juta warga Indonesia terjerat penyalahgunaan narkoba, mayoritas berusia muda. Angka ini menggambarkan betapa rentannya generasi produktif Indonesia. Bayangkan, kelompok usia yang seharusnya menjadi motor pembangunan justru terseret menjadi korban sekaligus sasaran jaringan peredaran gelap.
Gambaran itu ternyata tidak jauh berbeda dengan kondisi di Sukabumi. Sepanjang 2025, Polres Sukabumi mengungkap 150 kasus narkoba dengan 191 tersangka, disertai penyitaan sabu, ganja, dan lebih dari seratus ribu butir obat keras terbatas. Nilai total barang bukti di wilayah Kota Sukabumi bahkan mendekati Rp1,9 miliar — angka yang menunjukkan betapa masifnya peredaran di wilayah yang tampak tenang ini.
Yang lebih menghawatirkan, laporan BNNK Kota Sukabumi menyebut 40 persen pasien rehabilitasi adalah pelajar. Fakta ini menegaskan bahwa narkoba bukan lagi persoalan “orang dewasa”, tetapi sudah menjalar ke ruang-ruang pendidikan dan mengancam masa depan anak-anak yang seharusnya sedang membangun karakter dan cita-cita.
Jika ditarik ke aspek kesehatan, dampaknya tidak main-main. Penyalahgunaan obat keras terbatas—seperti tramadol dan eximer—yang paling banyak dikonsumsi remaja Sukabumi, dapat memicu kerusakan saraf, gangguan pernapasan, hingga ketergantungan berat. Belum lagi risiko penyakit menular seperti HIV dan hepatitis akibat penggunaan jarum suntik pada jenis narkoba tertentu. Semua ini memperbesar beban layanan kesehatan, baik pemerintah maupun keluarga korban.
Namun, ancaman terbesar sebenarnya ada pada aspek ekonomi dan sosial. Setiap pengguna narkoba adalah potensi produktivitas yang hilang. Mereka yang kecanduan sering kali mengalami penurunan kemampuan kerja, absensi tinggi, hingga kesulitan mempertahankan pekerjaan. Di tingkat keluarga, kecanduan menciptakan tekanan ekonomi dan emosional: biaya pengobatan meningkat, hubungan antar anggota keluarga retak, hingga muncul konflik dan kekerasan.
Di tingkat negara, kerugian akibat narkoba mencapai triliunan rupiah. Dana yang semestinya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan terpaksa dialihkan untuk penegakan hukum, rehabilitasi, serta pengendalian dampak sosial. Dengan kondisi seperti di Sukabumi—yang memiliki populasi muda cukup besar—kerugian jangka panjangnya bisa semakin berat jika tidak ditangani dengan strategi komprehensif.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, pencegahan dan edukasi harus menjadi garda terdepan. Masyarakat perlu memahami bahwa narkoba kini hadir bukan hanya dalam bentuk klasik seperti sabu dan ganja, tetapi juga obat-obatan berbahaya yang dijual murah dan mudah tersedia melalui perantara atau modus tempel. Sekolah dan keluarga wajib menjadi benteng pertama bagi remaja agar mereka tidak terjebak rasa ingin tahu yang salah arah.
Kedua, akses rehabilitasi harus diperluas dan distigma harus dihapus. Pecandu adalah pasien, bukan musuh. Sukabumi membutuhkan lebih banyak layanan rehabilitasi yang ramah remaja dan terjangkau, disertai pendampingan psikologis agar para korban bisa pulih dan kembali berfungsi di sekolah maupun masyarakat.
Ketiga, kolaborasi penegakan hukum dan komunitas perlu diperkuat. Keberhasilan mengungkap ratusan kasus di Sukabumi harus dibarengi upaya pencegahan berbasis masyarakat, termasuk memperkuat program P4GN serta gerakan “Sukabumi Bersinar”. Lingkungan yang waspada, peduli, dan berani melapor akan mempersempit ruang gerak pengedar.
Keempat, pemerintah daerah harus secara rutin merilis data, melakukan evaluasi, dan menyusun kebijakan berbasis bukti. Tanpa data yang akurat, strategi yang disusun hanya akan bersifat reaktif, bukan solutif.
Penyalahgunaan narkoba bukan hanya masalah pelanggaran hukum; ini adalah masalah kesehatan publik, pendidikan, ekonomi, dan masa depan bangsa. Indonesia tidak boleh kehilangan generasi mudanya. Sukabumi pun tidak boleh membiarkan laju peredaran narkoba menguasai ruang-ruang sosialnya.
Menolak narkoba berarti menjaga kesehatan masyarakat, memperkuat ekonomi, dan memastikan masa depan generasi muda tetap cerah. Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat bergerak bersatu. Sebab, dalam perang melawan narkoba, diam adalah bentuk kekalahan.
