Kasus BSI di PA Banyuwangi Ungkap Celah Hukum Merger Bank Syariah Nasional

Banyuwangi.mediabangsa.net// Persidangan perkara ekonomi syariah bernomor 1044/Pdt.G/2025/PA.Bwi yang tengah ditangani Pengadilan Agama Banyuwangi memasuki babak keempat dengan atmosfer yang semakin kompleks dan penuh dinamika hukum. Sengketa ini menyeret nama PT Bank Syariah Indonesia (BSI) Cabang Jember sebagai Tergugat I, dalam gugatan yang diajukan Ruslan Abdul Gani melalui tim kuasa hukum dari LKBH UNTAG Banyuwangi. Selasa,(06/05/2025).
Sidang yang berlangsung pukul 10.30 WIB di Ruang Sidang Utama tersebut, dipimpin langsung oleh Ketua PA Banyuwangi, Ahmad Rifa’i, S.Ag., M.HI., bersama dua hakim anggota, Drs. Akhmad Khoiron, M.Hum. dan Ambari, M.S.I. Panitera pengganti, Yuliadi, S.H., M.H., turut mencatat jalannya proses persidangan.
Pihak Penggugat hadir bersama tim kuasa hukum yang dipimpin Saleh, S.H., tetapi tidak bisa hadir secara langsung dalam persidangan dan diwakili oleh Andy Najmus Saqib, S.H. Sementara PT BSI diwakili oleh Legal Officer Region VIII Surabaya, Rendik Eka Purnama. Perwakilan dari KPKNL Jember, Sri Wahyuningsih, hadir mewakili Tergugat II.
Namun, jalannya persidangan kembali terganggu oleh ketidakhadiran beberapa pihak tergugat lainnya, yakni Notaris Rosyidah Dzeiban, Kantor BPN Banyuwangi, serta Karyono selaku pemenang lelang (Turut Tergugat I). Ketidakhadiran mereka, terutama pihak Kantor BPN dan pemenang lelang yang tidak pernah hadir sejak sidang perdana, memunculkan tanda tanya serius soal komitmen dan tanggung jawab mereka terhadap proses hukum.
Ketua Majelis Hakim Ahmad Rifa’i menegaskan bahwa hingga persidangan keempat ini, belum ada satu pun jawaban resmi dari pihak tergugat yang mangkir. Menyikapi hal ini, Majelis menawarkan opsi pelaksanaan e-litigasi untuk menjamin keberlangsungan proses hukum secara efektif dan efisien. Usulan ini disepakati oleh seluruh pihak yang hadir.
Perwakilan Kantor KPKNL Jember, Sri Wahyuningsih, menyatakan bahwa pihaknya akan segera menyampaikan jawaban melalui sistem e-Court setelah melakukan koordinasi internal, mengingat kendala administratif terkait akses akun lembaga.
Setelah dilakukan musyawarah terbuka, Majelis Hakim menetapkan jadwal sidang secara sistematis dalam bentuk kalender tetap sebagai berikut:
? 6 Mei 2025: Pengunggahan jawaban oleh Tergugat (via e-Court)
? 20 Mei 2025: Replik oleh Penggugat (e-litigasi)
? 3 Juni 2025: Duplik oleh Tergugat (e-litigasi)
? 17 & 24 Juni 2025: Pemeriksaan saksi Penggugat (tatap muka)
? 1 & 8 Juli 2025: Pemeriksaan saksi Tergugat (tatap muka)
? 15 Juli 2025: Penyampaian kesimpulan
? 29 Juli 2025: Musyawarah Majelis dan pembacaan putusan
Ketua Majelis kembali menegaskan, bahwa format penjadwalan sidang kini dibuat lebih sistematis dalam bentuk kalender tetap, agar lebih terstruktur dan dapat dipantau semua pihak.
Usai persidangan, kuasa hukum Penggugat, Andy Najmus Saqib, menyatakan kesiapannya mengikuti e-litigasi dan menyusun replik yang fokus pada aspek-aspek substansial. Ia menegaskan pentingnya kehadiran semua tergugat agar perkara ini berjalan transparan dan fair.
“Kami akan menanggapi duplik yang disampaikan tergugat berdasarkan substansi gugatan. Kami percaya pada proses hukum dan berharap perkara ini dapat diselesaikan dengan adil dan transparan,” ujar Andy.
Dalam pernyataan terpisah, Saleh, S.H., pimpinan tim kuasa hukum dari LKBH UNTAG Banyuwangi, menyampaikan kritik tajam terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh BSI dalam jawaban mereka. Menurutnya, BSI menyatakan bahwa penggabungan tiga bank (BSM, BRI Syariah, dan BNI Syariah) secara otomatis memindahkan hak dan kewajiban BSM kepada BSI. Namun hal ini, menurut Saleh, bertentangan dengan prinsip dasar hukum perjanjian.
"Akad syariah adalah perikatan yang mengikat para pihak yang membuatnya berdasarkan asas pacta sunt servanda. Ketika penggugat membuat akad dengan BSM, maka BSI tidak bisa serta-merta menggantikan posisi BSM tanpa akta perubahan atau addendum formal," tegas Saleh.
Saleh juga menyoroti aspek hukum sertifikat hak tanggungan (HT), yang menurut BSI otomatis berpindah akibat merger. Namun, menurut tim hukum penggugat, HT merupakan perjanjian tambahan (akseosoris) yang hanya sah apabila ada surat kuasa membebankan HT dari pemilik jaminan kepada kreditur baru. Dalam kasus ini, tidak pernah terjadi pelunasan atau pemindahan utang secara formal antar entitas bank.
BSI disebut telah melakukan lelang atas objek jaminan tanpa pembaruan appraisal dan tanpa landasan hukum yang kuat. "Pada tahun 2013, nilai appraisal internal objek sekitar Rp700 juta. Jika kita hitung kenaikan nilai tanah 15% per tahun, maka pada 2023 (saat pelaksanaan lelang) nilai wajar seharusnya di atas Rp760 juta, bukan Rp260 juta sebagaimana dilakukan BSI," ungkap Saleh.
Saleh, S.H., juga mengungkap bahwa BSI tidak pernah membuktikan adanya appraisal terbaru selama proses sengketa di pengadilan negeri, yang sebelumnya menangani perkara ini. "Tindakan BSI merupakan pelanggaran hak debitur, dan mencerminkan proses hukum yang cacat," imbuhnya.
Tidak hanya itu, penggugat juga mempermasalahkan langkah BSI yang mengajukan eksekusi ke pengadilan negeri, padahal objek perkara adalah akad syariah yang seharusnya masuk ranah yurisdiksi peradilan agama. Bahkan, pengadilan negeri pernah mencabut sita eksekusi atas dasar bahwa objek sengketa merupakan objek syariah.
"BSI seharusnya menyelesaikan konflik melalui Mahkamah Syariah atau pengadilan agama, bukan mengambil jalur non-prosedural. Ini bukan hanya soal prosedur, tapi soal penghormatan terhadap sistem hukum syariah yang berlaku," tuturnya.
Kasus ini mengungkap sejumlah celah dalam proses merger bank syariah nasional yang patut menjadi catatan serius bagi otoritas perbankan dan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Ketidakcermatan dalam transformasi kelembagaan ternyata berdampak langsung pada keabsahan perikatan dengan nasabah, khususnya dalam ranah hukum perdata syariah.
Sidang lanjutan akan menjadi ajang penting untuk menguji argumentasi kedua belah pihak, sekaligus menjadi preseden penting dalam penanganan sengketa perbankan syariah di tanah air.
Reporter : Idam