Mengapa Out-of-Pocket Masih Jadi Beban Kesehatan? Perlunya Perlindungan Finansial yang Lebih Kuat
Dilema di Balik Tagihan Rumah Sakit
“Pak, ini total biaya yang harus dibayar setelah dipotong BPJS.” Kalimat ini seringkali menjadi momen menegangkan bagi pasien dan keluarga saat menjemput anggota keluarga dari rumah sakit. Meskipun sudah memiliki jaminan kesehatan, masih banyak masyarakat Indonesia yang harus merogoh kocek dalam-dalam untuk biaya kesehatan. Fenomena ini dikenal sebagai out-of-pocket (OOP) payment, sebuah isu yang menjadi perhatian serius bagi kita sebagai mahasiswa ilmu kesehatan masyarakat.
Sebagai calon profesional kesehatan masyarakat, kita menyadari bahwa biaya kesehatan yang harus dibayar langsung oleh pasien bukan sekadar angka statistik, melainkan cermin dari keadilan dan perlindungan sosial dalam sistem kesehatan kita. Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa OOP masih menjadi beban signifikan bagi masyarakat Indonesia dan bagaimana kita dapat memperkuat perlindungan finansial kesehatan.
Apa Itu Out-of-Pocket dan Mengapa Ini Penting?
Pembayaran langsung (out-of-pocket/OOP) merujuk pada biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat saat mengakses layanan kesehatan—seperti konsultasi dokter, obat, rawat inap, atau tindakan medis—tanpa ditanggung oleh asuransi atau jaminan kesehatan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), proporsi OOP terhadap total pengeluaran kesehatan nasional idealnya tidak boleh melebihi 20%. Jika melampaui angka tersebut, risiko catastrophic health expenditure—pengeluaran kesehatan yang menghancurkan kondisi finansial keluarga—dan medical impoverishment—kemiskinan akibat biaya pengobatan—menjadi nyata dan mengkhawatirkan.
Realitas Out-of-Pocket di Indonesia: Data Berbicara
Berdasarkan data terkini, Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam mengurangi beban OOP. Pada tahun 2021, proporsi OOP terhadap total belanja kesehatan mencapai 25,2% dengan nilai nominal sebesar Rp170,94 triliun (National Health Accounts Indonesia Tahun 2021). Angka ini menunjukkan penurunan dari 29,3% pada tahun 2020, sebuah pencapaian yang patut diapresiasi.
Namun, jika kita melihat lebih jauh ke belakang, kemajuan ini terasa lebih monumental. Dalam kurun waktu satu dekade (2010-2021), proporsi OOP berhasil diturunkan drastis dari 54,3% menjadi 25,2% (National Health Accounts Indonesia Tahun 2021). Transformasi ini sebagian besar dapat dikaitkan dengan implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejak tahun 2014.
Komposisi Pengeluaran OOP: Kemana Uang Masyarakat Mengalir?
Memahami komposisi pengeluaran out-of-pocket (OOP) sangat penting untuk merancang kebijakan kesehatan yang tepat sasaran. Berdasarkan data National Health Accounts Indonesia 2021, tiga pos utama pengeluaran langsung masyarakat adalah: (1) Biaya rawat inap di rumah sakit—terutama rumah sakit swasta, (2) Layanan preventif di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) seperti pemeriksaan kehamilan, imunisasi, dan medical check-up (MCU), serta (3) Pembelian obat di apotek atau toko obat eceran. Menariknya, selama masa pandemi, terjadi lonjakan signifikan pada pengeluaran untuk medical check-up. Ini menunjukkan peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya deteksi dini kesehatan—namun di sisi lain, juga menambah beban finansial keluarga yang belum sepenuhnya terlindungi oleh sistem jaminan kesehatan.
Temuan menarik dari analisis National Health Accounts Indonesia 2021 menunjukkan bahwa kelompok masyarakat paling mampu (kuintil 5) justru menyumbang belanja kesehatan out-of-pocket (OOP) terbesar secara nominal: Rp93,76 triliun atau 54,85% dari total OOP nasional. Ini tidak berarti kelompok miskin terbebas dari beban, tetapi mencerminkan kemampuan bayar yang lebih tinggi dari kelompok atas untuk mengakses layanan kesehatan swasta atau fasilitas premium yang tidak sepenuhnya dicakup JKN. Bahkan, sekitar 59% dari pengeluaran mereka digunakan untuk layanan kuratif—seperti konsultasi spesialis atau rawat inap di rumah sakit swasta. Di sisi lain, kelompok masyarakat miskin (kuintil 1) telah dilindungi melalui Program Penerima Bantuan Iuran (PBI)-JKN yang ditanggung negara. Namun, proteksi ini belum sempurna. Mereka masih menghadapi beban OOP dalam bentuk co-payment: pembayaran tambahan untuk obat-obatan tertentu, layanan diagnostik, atau tindakan medis yang tidak termasuk dalam paket JKN. Artinya, sistem jaminan kesehatan belum sepenuhnya mampu melindungi yang paling rentan dari risiko kemiskinan akibat biaya kesehatan.
Tantangan yang Masih Hadir: Mengapa OOP Masih Tinggi?
Meskipun Indonesia telah membuat lompatan besar dalam perlindungan kesehatan, sejumlah tantangan struktural masih membuat masyarakat harus terus merogoh kocek saat sakit. Pertama, cakupan JKN yang belum universal—beberapa layanan seperti tindakan kosmetik medis, terapi alternatif, dan obat-obatan inovatif belum masuk dalam paket manfaat, sehingga pasien terpaksa membayar sendiri. Kedua, praktik co-payment dan self-referral: meski memiliki rujukan, banyak warga langsung memilih berobat ke rumah sakit, terutama swasta, karena persepsi kualitas yang lebih baik. Akibatnya, biaya melambung. Di sisi lain, sejumlah fasilitas kesehatan masih memungut biaya tambahan di luar tanggungan JKN, meski tidak seharusnya. Ketiga, ketimpangan kualitas dan akses pelayanan—karena kualitas layanan kesehatan primer belum merata, masyarakat yang mampu kerap memilih fasilitas swasta yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, sehingga harus membayar penuh. Keempat, harga obat dan alat kesehatan yang masih tinggi menjadi beban tambahan, terutama bagi pasien penyakit kritis atau kronis yang membutuhkan pengobatan rutin.
Solusi harus berbasis bukti dan sistemik. Sebagai agen perubahan di bidang kesehatan masyarakat, kita perlu mendorong perluasan paket manfaat JKN, terutama untuk penyakit tidak menular dan rehabilitasi medis. Pengendalian harga obat melalui negosiasi kolektif dan promosi obat generik berkualitas harus diperkuat. Sistem rujukan perlu dioptimalkan dengan pendekatan digital dan edukasi berkelanjutan agar masyarakat percaya bahwa FKTP mampu menangani masalah kesehatan dasar. Peningkatan akreditasi dan mutu fasilitas kesehatan primer akan membentuk kepercayaan ini. Di samping itu, skema pembiayaan inovatif—seperti asuransi komplementer atau blended financing—dapat menjadi lapis perlindungan tambahan bagi yang mampu, tanpa mengorbankan prinsip solidaritas.
Kesimpulan: Gerakan Kolektif untuk Kesehatan yang Adil
Perjalanan mengurangi beban out-of-pocket di Indonesia adalah cerita kemajuan yang menggembirakan, namun perjalanan ini belum selesai. Dari 54,3% pada tahun 2010 menjadi 25,2% pada tahun 2021, kita telah menunjukkan bahwa transformasi sistem pembiayaan kesehatan adalah mungkin.
Namun, target WHO 20% masih di depan mata, dan jutaan keluarga masih rentan menghadapi kemiskinan akibat biaya kesehatan. Sebagai calon profesional kesehatan masyarakat, kita harus terus menjadi advokat untuk sistem kesehatan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Mari kita dukung upaya pemerintah dalam memperkuat JKN, mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perlindungan finansial kesehatan, dan terus melakukan penelitian untuk menemukan solusi inovatif. Karena akses terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas tanpa menyebabkan kemiskinan bukan hanya hak, melainkan investasi masa depan bangsa.
Oleh : Windi Winarto Putri (NPM : 20240000124)
Mahasiswa Universitas Indonesia Maju
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat
